Jumat, 16 April 2010

Renungan Untuk Priok Berdarah

Cari Satpol PP Ideal? Tengoklah Solo

VIVAnews - Bentrok berdarah antara Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan warga Koja, Jakarta Utara gara-gara sengketa lahan makam Mbah Priok seharusnya tak terjadi.

Kepala Satpol PP Solo, Hasta Gunawan mengatakan, Satpol PP sebagai pelayan publik tak seharusnya membawa pentungan dan melempar batu. Satpol PP sebagai pelayan masyarakat harus mengutamakan pendekatan persuasif.

"Kita ikut berduka cita dan berbela sungkawa atas kejadian di Jakarta Utara," kata dia kepada VIVAnews di Solo, Kamis, 15 April 2010.

Namun, kata Hasta, bentrok yang berakhir dengan tragedi yang juga menewaskan tiga anggota Satpol PP sebenarnya bisa dihindari.

"Kami memiliki prinsip '5 si', yaitu komunikasi, koordinasi, sosialisasi, solusi dan realisasi. Melalui prinsip tersebut, berbagai penggususran hunian, PKL atau tempat usaha untuk penataan tata ruang kota di Solo bisa dilakukan secara damai," ungkapnya.

Dalam melakukan penggusuran, atpol PP Solo pun tidak pernah membawa pentungan. Petugas hanya 'bersenjatakan' peluit.

"Pentungan adalah simbol kekerasan. Padahal sisi kekerasan ini harus dihindari, yang lebih penting bagaimana kedua belah pihak saling berkomunikasi. Sehingga ada win-win solution-nya. Jadi dari pemerintah jangan hanya main eksekusi saja," urainya.

Berdasarkan pantaun VIVAnews di kantor Satpol PP Solo, sama sekali tidak terlihat peralatan sepeti halnya pentungan, tameng dan baja helm.

Bahkan, Hasta menyuruh VIVAnews mencari alat perlengkapan itu di kantornya. Hasilnya, nihil.

Justru yang berhasil ditemukan hanya peralatan musik untuk upacara. Ada drum, simbal dan terompet.

Selain dibekali peluit, semua aparat Satpol PP Solo diberi bekal buku panduan operasional.

Di dalam buku itu berisi semua standar tugas Satpol PP. Meskipun terdapat standar menggunakan senjata, pentungan, tameng, dan helm baja. Namun, Satpol PP Solo tidak memakainya.

"Ya, karena kami memang tidak memiliki dan tidak memerlukan alat tersebut," kata Hasta.

Selama beberapa tahun terakhir, Satpol PP Solo berhasil melakukan relokasi di beberapa lokasi yang sensitif seperti hunian di bantaran Bengawan Solo, pasar tradisional. Juga relokasi pedagang di monumen Banjarsari yang jumlahnya mecapai ribuan.

Tak ada keributan, bahkan relokasi ini dilakukan dengan cukup meriah, yaitu pawai tradisi dengan gunungan dan pakaian tradisional Jawa.

Satpol PP Solo, kata Hasta, justru menjadi sahabat para demonstran ketika ada demonstrasi.

"Ini senjata kami, air kemasan. Air kemasan ini kami jadikan pendekatan persuasif kepada demonstran. Dalam arti kami memberikannya di kala panas menyengat," kata dia.

Bukannya dihindari, truk Satpol PP selalu dicari demonstran. "Untuk dimintai bantuan untuk memulangkan demonstaran ke kampus," ungkapnya, tersenyum.

Karena pendekatan yang persuasif serta membuahkan hasil yang manis, membuat beberapa daerah melakukan studi banding ke Satpol PP Solo.

"Kami baru saja menerima dari Aceh. Jumlah daerah lain yang melakukan studi banding ke Solo tak terhitung. Satpol PP Solo terkenal anti kekerasan. Oleh sebab itu, mereka ingin menirunya," tutup Hasta.

Laporan: Fajar Sodiq| Solo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih komentarnya